welcome


Welcome

Sabtu, 14 Januari 2012

Cerpen part 1"Zahra"


Zahra…
By : Iflahoel EL-mawar
24 September 2010, 10.22 am
“ sorry Ra…aku lagi asyik maen game ni…besok ja ya…” begitu ku dengar Ali dengan santainya bicara pada sohibku Zahra. Aku sudah hampir mendamprak wajahnya. Kulihat wajah Zahra hanya tersenyum sambil mengangguk.
“ yaudah…tapi jangan lupa makan ya..biar gak sakit…” jawab Zahra sangat lembut.
“ hemb…” Ali memegang gemas pipi Zahra, “ Aku sayang kamu..” ucapnya kemudian. ‘huek..huek..’ dalam hatiku ingin muntah. Ali kemudian melanjtukan maen gamenya itu, aku dan Zahra pergi dari kamar kostnya.
Sungguh aku gak betah melihat Zahra terus diperlakukan demikian. Bukan Cuma kali ini ia mengecewakan Zahra. Kadang aku bingung dengan perasaan cinta Zahra pada Ali yang tahan lama dan tanpa harap. Padahal, banyak kakak senior kita yang menenti Zahra dengan sabar dan perhatian yang ampun dahsyatnya. Salah satunya Mas Fauzan, anak Psikolog semester V, yang sudah lebih dari 2 tahun naksir Zahra. Herannya lagi, kalau aku bilang ke Zahra, dia hanya jawab ‘ andai aku bisa mengalihkan rasa sayangku ini, uda dari dulu aku lakuin Tia..’. Ya Tuhan……sudah gak beres otaknya.
“Ra, uda kebangeten tuh Ali, ini masih kepentingan dia..” aku membuka percakapan dengan Zahra setelah beberapa meter dari kostan Ali. Kulihat dia hanya tersenyum. Aku heran, terbuat dari apa hatinya, sampai dia bisa begitu nerima. “ Ra…dengerin aku…kenapa kamu gak mencoba melihat cinta-cinta yang ada di sekitarmu? Mas Fauzan, Mas Majid….”
“ makasih ya Tia…hatiku milih Ali, Ali juga begitu, hanya saja Ali gak mau kita mendekati maksiat…” jawabnya sangat bearsahaja dan subyektif.
Aku mulai berfikir, untuk menyatukan Zahra dengan mas Fauzan, yang baik, cakep,  cerdas, dewasa dan perhatian. Bagaimanapun, aku gak mau melihat Zahra terus kayak gini. Gak terasa kita sampai di tempat kostku. Aku pamit memisahkan diri dengan Zahra.
“hati-hati di jalan ya…ntar malem aku ke tempatmu…!!” ucapku. Zahra hanya tersenyum dan mengangguk lembut.
Akupun masuk ke dalam kamar kecilku.
Kamarku terasa sangat sempit, aku menaruh tasku di atas meja belajar yang sudah di sediakan. Kulihat ada yang tercecer dari tasku, ternyata Ipod Zahra. Pasti dia sangat bingung. Aku bergegas mengembalikan ke tempatnya, yang gak jauh dari tempatku tinggal.
Setelah berjalan sekitar 500 meter, pintu kamar kost Zahra sudah tampak. Aku berlari, tanpa mengetuk pintu aku masuk. Mataku terkejut melihat Zahra terkulai dengan darah yang terus keluar dari bibir manisnya.
“ Zahra…kamu kenapa?!” aku mendekatinya dan memeluknya. Aku peluk dia, tak terasa air mataku mulai keluar, aku baringkan lagi. Aku berlari keluar, aku melihat kak Fauzan dengan mobilnya datang. Aku menariknya masuk untuk melihat Zahra.
Kak Fauzan terkejut melihatnya. 
“ kenapa dia bisa begini?” tanyanya padaku. Aku hanya mampu menggeleng, karena aku memang tak tahu. Tanpa fikir panjang, Mas Fauzan menggendong Zahra masuk ke dalam mobilnya.  Ia menyuruhku masuk dan memeluk Zahra.
Darah masih terus keluar dari mulut Zahra. Semakin deras, aku melihatnya dengan air mata yang tak bisa lagi aku bendung. Sesekali Zahra melihatku dengan tatapan lembut. Dia tersenyum, tangannya yang lembut mencoba menyentuh pipiku, dengan sangat terbata-bata ia berbicara padaku.
“jangan menangis, aku takkan apa-apa…” ucapnya lirih sambil tersenyum. Aku tak sanggup lagi. Aku terus menangis… sementara Mas Fauzan terus menyetir, sesekali melihat ke kami di belakang.
“ Tia…tolong kasihkan ini pada Ali” ucapnya lirih sambil memberikan sepucuk kertas padaku. Aku mengangguk.
“sampaikan juga pada mas Fauzan…maafkan semua salahku, dan makasih……” aku hanya terus mengangguk. Zahra terbatuk, darah yang keluar semakin banyak, jilbab putihnya berubah menjadi merah karena darah.
“ oh ya…sampaikan juga pada Ali..aku mencintainya.” Kali ini suaranya semakin sulit ku dengar. Kemudian ku dengar Zahra menyebutkan nama tuhannya dan bersyahadat. Kemudian dia melihatku dan tersenyum. Tak lama ia menutup matanya pelan. Aku tak mampu lagi untuk tak berteriak.
“ Zahra…zahra…bangun,…zahra…jangan tinggalkan aku…zahra…!!!” teriakku membuat mas Fauzan terkejut. Ia menepi dan melihat Zahra. Kulihat di luar mobil hujan mulai turun. Sepertinya, Tuhan juga berduka.
Prosesi pemakaman telah usai, kulihat Ali tertunduk, aku teringat akan titipan Zahra padaku.
“ kenapa gak kau berikan titipan Zahra… ?” suara mas Fauzan mengejutkan aku. Aku tertunduk, aku terlalu marah pada Ali yang tak peduli dengan cinta Zahra yang suci. “ ingat, pasti ia sangat ingin Ali tahu akan hal itu.” Lanjut Maz Fauzan.
Aku berfikir, kemudian aku putuskan untuk menemui Ali.
“ ali!” aku memanggilnya. Kulihat wajahnya sembap. Aku tahu mungkin  ini sangat menyakitkan baginya. Mungkin dia merasa bersalah, dan telat. Zahra telah kembali ke pelukan Tuhannya.
“ ada apa?!” tanyanya padaku.
“ ada titipan dari Zahra…” aku tak mampu membendung air mataku. Sakit rasanya melihat ini semua. Aku berikan surat itu. “ di akhir hidupnya, dia nitip salam, kalau dia mencintaimu.” Aku tak sanggup lagi, aku menangis di depannya.
Kulihat Ali membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Taklama ia bertekuk lutut. Ia menangis. Ia mencium surat itu.
“ maafkan aku Zahra…kembalilah…biarkan aku minta maaf padamu, memelukmu dam menyayangimu. maafin aku Zahra…” teriak Ali. Kulihat sepucuk suratnya jatuh, aku pungut dan aku baca.
Dear My Ali……
Maaf aku selalu mengganggu hidupmu.
Maaf aku tak jera menyayangimu.
Maaf juga aku tak sempurna untukkmu.
Maafkan aku yang selalu mengaharapkanmu.
Maafkan aku karena sangat mencintaimu.

Ali……terima kasih uda mau meluangkan waktu mu untukku.
Terima kasih…kau telah buatku bersemangat.
Terima kasih ….kau buat hidupku lebih berwarna…meski kau tak pernah ijinkan aku untuk berada di sisimu….
Aku harap setelah kepergianku, kau takkan terganggu, tetep menjaga kesehatn dan tak meremehkan sarapan.
Aku juga tak mau kau menangis karena semua ini……karena aku mencintaimu. Aku ingin kau tetap tersenyum untukku.


Your sweet moments……


Ya Tuhan……baru kali ini aku tahu cinta seorang umatmu yang benar-benar tak mengharapkan apapun. Ku rasakan tubuhku lemas, aku tak mampu memegang sepucuk surat yang tak lebih berat dari tanganku. Ku biarkan kertas itu tergeletak di atas tanah. Hujan mulai turun membasahi kertas dan semua yang ia temui. Ali semakin merunduk dengan penyesalannya. Zahra…hatimu benar-benar suci, begitu juga cintamu. Sayangnya orang yang kau cinta baru menyadari setelah kau pergi untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar